Hari Idul Fitri, hari yang suci ini, mari kita tinggalkan semua bentuk kemaksiatan, kedurhakaan, bujukan setan, dan tarikan buruk hawa nafsu untuk menyambut segala bentuk kebajikan
Iringan waktu terus bergulir tanpa terasa membawa kita bertemu kembali dengan Idul Fitri, hari raya umat Islam. Sebulan yang lalu, Allah me_nyatukan kita semua dengan bulan Ramadhan. Bulan yang menjadi hari raya para kekasih Tuhan, bulan yang membersihkan kita dari kedurhakaan dan kesalahan, serta bulan yang di dalamnya ada Lailatul Qadr yang nilainya lebih agung dari seribu bulan. Sebulan penuh kita mengekang hawa nafsu dengan menahan lapar dan dahaga, menahan amarah dan emosi, mengendalikan gejolak syahwat dan memperkaya dengan puspa ragam amal kebajikan.
Pagi ini kita merayakan Idul Fitri, hari raya fitrah bagi umat Islam yang telah berjuang menahan tarikan buruk hawa nafsu, hari pensucian salah dan dosa, hari kemenangan besar bagi mereka yang selalu berpuasa. Bahkan hari yang menjadi saksi bahwa Allah bukan hanya sebagai Tuhan Yang Maha Kuat, Maha Kuasa Lagi Maha Pemaksa, tapi juga kita merasakan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang Lagi Maha Bijaksana.
Saat ini, perasaan senang dan bahagia, perasaan haru dan bangga berputar-putar memenuhi benak kita. Kita tidak mampu melukiskannya dengan kata-kata, melainkan hanya bisa kita tuangkan ke dalam takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid semata: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illa Allahu wallahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd. Kalimah-kalimah ini bergemuruh memenuhi angkasa, menyatu dengan takbir, tasbih, tahlil, dan tahmid para malaikat hingga naik sampai ke singgasana, Arsy Allah Sang Penguasa Semesta. Namun dibalik kebahagiaan yang tak terlukiskan saat ini, bila kita menengok sejenak ke belakang, menatap wajah nusantara hingga hari ini, ternyata ada selaksa nestapa yang menyelubungi perasaan dan benak kita.
Sejak beberapa tahun silam, kita menyaksikan iringan musibah demi musibah memporak-porandakan negeri kita tercinta. Belum usai jerit tangis masyarakat Aceh yang dilanda tsunami, tiba-tiba kita dikagetkan oleh gempa bumi yang meluluhlantakkan Yogyakarta, dan Pangandaran. Belum lenyap kedukaan masyarakat Kalimantan dengan bencana banjir, serta merta Maluku diguncangkan dengan gempa bumi kembali. Belum kering air mata nestapa karena musibah Situ Gintung, kita dihentakkan oleh gempa yang melanda Tasik Malaya dan Wonosari Yogyakarta kembali. Begitu pula bocornya lumpur panas PT. Lapindo yang menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan tempat tinggal mereka dan hingga hari ini belum juga terselesaikan dengan tuntas.
Rentetan bencana demi bencana, prahara demi prahara ini, mengantarkan tahun-tahun akhir ini menjadi tahun musibah. Indonesia menangis, Nusantara tercinta berduka, Ibu Pertiwi sedang merintih. Melihat semua fenomena ini, banyak orang yang bertanya-tanya, dimanakah kebijaksanaan Ilahi sehingga Dia biarkan bencana demi bencana menghancurkan masyarakat Indonesia? Di manakah kasih sayang Allah sampai-sampai Dia turunkan bencana secara beruntun yang membuat kita menanggung penderitaan yang tak tertahankan? Dan apakah semua ini sebagai azab dari Allah, peringatan dari-Nya, atau justru bentuk kasih sayang-Nya yang Dia bungkus dengan derai airmata nestapa?
Melalui kacamata hikmah, setidaknya ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan mengapa ujian selalu hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Pertama, karena dosa-dosa yang kita kerjakan. Sekuat-kuat iman kita, tetap tak seorangpun yang luput dari perbuatan dosa. Entah kita melakukan maksiat yang kita sadari atau tidak, dosa-dosa ini bisa menyebabkan turunnya bencana, bisa mengubah nikmat menjadi laknat, dan bisa juga membuat doa-doa kita tak terkabulkan. Hampir 14 abad lalu, Imam Ali ra pernah berdoa kepada Allah yang isinya istighfar: “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang menyebabkan turunnya bencana, merubah nikmat menjadi laknat, dan menyebabkan doa-doaku tertolak�.
Kedua, karena Allah ingin membersihkan dosa-dosa kita dengan langsung mengazabnya di dunia ini melalui ujian demi ujian. Sebetulnya dilihat secara hakikat, di sini kita harus bersyukur kepada Allah, walaupun mungkin dengan perasaan pahit. Sebab, ujian itulah yang akan membersihkan segala dosa-dosa kita. Dan jika Allah telah menguji kita di dunia ini, maka Dia tidak akan menyiksa kita untuk kedua kalinya di akhirat kelak. “Maha Mulia Allah, Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya dua kali�, demikian sabda Nabi kita.
Ketiga, untuk menguji kualitas keimanan kita. Ketika seseorang telah memiliki mutiara keyakinan yang bergelora dalam jiwanya, konsekuensinya dia akan diuji oleh Allah. Mengapa demikian? Sebab perbedaan manusia di hadapan Allah bukanlah disebabkan kekayaan dan pangkat jabatannya, bukan karena kebangsawanan dan keturunannya. Namun karena iman yang bergemuruh di dalam dadanya. Allah menguji kita adalah untuk menyaring mana yang mutiara mana yang tembaga, mana yang emas tulen mana yang perak biasa. Meminjam filosofi Jalaluddin Rumi, “untuk mengetahui mana yang berwatak Muhammad dan mana yang berwatak Abu Jahal�.
Terakhir, adalah karena kecintaan Allah. Sulit memang menjelaskan alasan cinta Allah ini, apalagi bagi orang yang belum merasakan indahnya sentuhan cinta. Seribu tahun silam, Imam Ghazali merumuskan kaidah cinta ini: “Siapa pun yang belum pernah merasakan indahnya sentuhan cinta, niscaya ia tidak akan mengetahui keajaiban-keajaibannya.� Apakah keajaiban cinta ini? Maulana Rumi menjawab: “Ketika Sang Kekasih berkata “Tidak!�, maka ada seribu “Ya� yang tersembunyi dalam ucapannya.�
Begitu pula ketika Allah menguji hamba yang dicintai-Nya, maka dalam ujian itu tersimpan sejuta kasih sayang-Nya. Lihatlah kehidupan para kekasih Allah, Rasul dan Nabi-Nya, auliya, ulama, dan orang-orang salihin yang hidup bersama kepapaan dan kepahitan hidup, diuji dengan prahara demi prahara. Tapi Allah justru menganugerahi mereka nikmat keimanan dan ketakwaan, sehingga berguncang jiwa dan bersimbah airmata mereka saat kalimah-kalimah Tuhan disebutkan.
Sampai disini, kira-kira dimanakah makna ujian demi ujian yang menerpa wajah kehidupan bangsa kita selama ini? Apakah karena cinta dan kasih sayang Allah? Apakah karena keimanan yang bersemayam dalam kalbu kita? Atau jangan-jangan disebabkan oleh maksiat dan dosa-dosa yang kita kerjakan?
Tak seorang pun di antara kita yang mampu menjawabnya secara pasti. Namun jika melihat potret kehidupan kita, boleh jadi bencana turun disebabkan dosa-dosa yang kita kerjakan sebagai peringatan Allah kepada kita. Kita lebih sering melanggar perintah-perintah Allah daripada menaatinya. Kita lebih senang dengan tawaran kemaksiatan ketimbang panggilan ketaatan. Kita patuhi ajakan-ajakan setan dan tidak peduli dengan firman-firman Tuhan. Dan kita turuti segala hasrat palsu duniawi, sementara kita lupakan rumah abadi di seberang kematian.
Mungkin itu alasannya mengapa Allah turunkan musibah demi musibah sebagai peringatan agar kita semua kembali kepada-Nya. Karena itu pada hari Idul Fitri, hari yang suci ini, mari kita tinggalkan semua bentuk kemaksiatan, kedurhakaan, bujukan setan, dan tarikan buruk hawa nafsu untuk menyambut segala bentuk kebajikan, kebenaran, keimanan, dan ketakwaan sehingga kita benar-benar kembali kepada fitrah suci kita, ke Idul Fitri dan semoga Allah menjauhkan kita semua dari bencana demi bencana yang membuat kita lumpuh tak berdaya, amin ya Arhamar Rahimin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar