Agama Islam sebenarnya meletakkan dimensi ibadah sosial lebih besar ketimbang dimensi ibadah individual
Kesalehan kita lebih cenderung bersifat ritualistik, seremonialistik, individualistik, dan vertikalistik. Anehnya, sebagian kita merasa bangga dengan kesalehan individualistik tersebut dan melalaikan kesalehan-kesalehan sosial lainnya yang justru nilai keagungannya jauh lebih besar ketimbang ibadah-ibadah individual. Lihatlah para artis dan orang-orang kaya yang melakukan ibadah haji berulang-ulang kali hanya untuk mengejar “kenikmatan spiritual” individual semata. Padahal kalau dana untuk ibadah haji yang berulang-ulang itu diberikan kepada anak-anak atau mahasiswa-mahasiswa miskin yang berprestasi namun tidak mampu mencari dana untuk kuliah ke tingkat yang lebih tinggi, tentu saja nilai pahalanya akan jauh lebih besar.
Pada titik inilah, setidaknya kita perlu melakukan klarifikasi tentang proporsi ibadah-ibadah yang kita kerjakan. Agama Islam sebenarnya meletakkan dimensi ibadah sosial lebih besar ketimbang dimensi ibadah individual. Karena masih banyak yang terjebak dengan ibadah individual dan melupakan ibadah sosial, mari kita lihat beberapa alasan tentang keutamaan ibadah sosial daripada ibadah individual.
Pertama, dalam Al-Quran dan kitab-kitab hadis, proporsi terbesar diberikan berkenaan dengan ibadah sosial bukan ibadah individual. Menurut Harun Nasution dalam Islam Rasional, ayat-ayat yang berhubungan dengan ibadah individual hanya berjumlah seratus empat puluh ayat. Sedangkan secara spesifik, yang berhubungan dengan ibadah sosial berjumlah dua ratus dua puluh delapan, belum lagi ditambah dengan ayat-ayat Madaniyah yang berjumlah 23 persen lebih dari keseluruhan ayat-ayat Al-Quran.
Kedua, bila ibadah individual bersamaan waktunya dengan urusan ibadah sosial yang penting, maka ibadah individual boleh diperpendek atau ditangguhkan, walaupun bukan untuk ditinggalkan. Rasulullah Bersabda, “Aku sedang salat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi, aku pendekkan salatku, karena aku menyadari kecemasan ibunya dengan tangisan anaknya” (HR. Bukhari & Muslim). Dalam hadis lain juga Rasulullah mengingatkan para imam agar memperpendek salatnya bila di tengah jamaah ada orang yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan.
Ketiga, ibadah yang mengandung aspek sosial kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat individual perseorangan. Karena itu, salat jamaah lebih tinggi nilainya daripada salat munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajat menurut riwayat yang sahih dalam hadis Bukhari, Muslim, dan ahli hadis yang lain.
Keempat, bila urusan ibadah individual dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah sosial. Bila shaum (puasa) tidak mampu dilakukan, maka menunaikan fidyah, yaitu makanan bagi orang miskin harus dibayarkan. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan atau istri dalam keadaan haid, tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin.
Namun sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan ibadah sosial, maka aspek ibadah individualnya tidak bisa menutupinya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajud.
Orang-orang yang melakukan kezaliman tidak hilang dosanya dengan hanya membaca zikir atau wirid seribu kali. Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa ibadah individual tidak akan bermakna bila pelakunya melanggar norma-norma kesalehan sosial. “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan”, Dan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”, demikian peringatan beliau. Sedangkan dalam Al-Quran, orang-orang yang salat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal perbuatan, dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah (Surat Al-Ma’un).
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal kebajikan dalam bidang sosial kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, kita menemukan hadis yang senada yaitu, “Orang-orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus puasa” (HR. Bukhari & Muslim). Pada hadis yang lain, beliau juga bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Maukah engkau aku beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan sedekah? (para sahabat menjawab, tentu). Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar” (HR. Abu Dawud & Ibn Hibban). Dan beliau juga bersabda, “Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada salat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada puasa tiga bulan” (HR. Ad-Dailami).
Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan transparan bahwa amal-amal kebajikan yang bersifat sosial kemasyarakatan, seperti menyantuni kaum fakir miskin, mendamaikan pihak yang bertengkar, meringankan penderitaan orang lain, dan berusaha menuntut ilmu pengetahuan, mendapatkan ganjaran pahala yang lebih besar ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Jadi dalam perspektif Islam yang holistik, ibadah sosial memiliki nilai kemuliaan yang jauh lebih tinggi, besar, dan mulia ketimbang ibadah individual.
Paparan di atas, tidak sedikit pun bermaksud memandang ringan ibadah-ibadah individual, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah individual lainnya. Namun hendak menempatkan ibadah sosial berada dalam proporsi yang tepat dalam doktrin Islam. Karena itu, kalau kita sudah mampu menunaikan sebagian besar ibadah-ibadah yang bersifat individual, maka kita juga seharusnya peduli dengan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dekadensi moral, kebatilan, dan beragam problematika sosial yang mengundang kepedulian kita semua sebagai bentuk ibadah sosial. ***